Ruang dan Waktu Merupakan Kesempatan Berfilsafat Secara Hidup



Oleh: Doni Setiyo Ardiyanto, S.Pd.Si

Manusia hidup tidak pernah akan menempati ruang dan waktu yang sama. Ruang dan waktu orang di Indonesia dengan Amerika berbeda. Bahkan sayapun tidak pernah menempati ruang dan waktu yang sama. Jikalau bisa pada ruang yang sama pastilah waktunya berbeda, sebab unsur waktu paling tidak bisa dimaju dan dimundurkan. Ruang dan waktu merupakan hal yang sangat berharga.
Oleh sebab itu, seberapa jauh kita bisa memanfaatkan ruang dan waktu sebagai kesempatan dalam berfilsafat secara hidup. Tentunya berbeda arti berfilsafat secara hidup dengan filsafat hidup. Berfilsafat secara hidup merupakan kesadaran akan adab terhadap ruang dan waktu. Berfilsafat secara hidup tentunya bebas dari penyakit filsafat, yaitu yang memiliki ciri tidak datang tiba-tiba dan pergi tiba-tiba.
Orang berfilsafat merupakan hal yang ringan bahkan saking ringannya bisa di anggap kosong. Orang yang sering berdebat atau bertarung tentang sesuatu hal akan sadar setelah mengetahui hakekatnya. Segala sesuatu dapat diolah pikirkan menjadi filsafat .
Filsafat merupakan menejemen ruang dan waktu, dimana penyakitnya tidak peka terhadap ruang dan waktu. Orang tertentu belum tentu bisa memahami filsafat, semisal anak-anak SMP yang akan di ajarkan Elegi Matematikawan Mengusir Syaitan. Oleh sebab itu, berfilsafat tidak boleh parsial atau sepenggal-sepenggal. Berfilsafat merupakan kesadaran keluar dan kedalam sehingga hanya orang deawasa yang mampu berfilsafat.
Harmoni dalam melakukan olah pikir merupakan berfilsafat secara hidup yang sehat. Jika berfikir tentang beda maka berfikir tentang sama. Jika berfikir tentang anak-anak maka berfikir pula tentang orang tua. Berfikir tentang masa depan maka berfikir tentang masa lalu.  Harmoni dalam filsafat tentunya untuk melengkapi mendapatan tidak separuh dunia.
Tak Separuh Dunia
Kodrat manusia adalah mengidentifer apa yang ada di luar dirinya. Dimulai dari bayi sampai dewasa manusia memiliki kodrat tersebut. Manusia mengidentifer dengan mengenal dengan mencoba-coba atau pengalaman. Dimana mengidentifer apa yang diluar barulah separuh dunia.
            Untuk melengkapinya maka manusia melakukan usaha dari pengalaman-pengalaman tersebut dengan melakukan abtraksi. Abtraksi merupakan usaha manusia melakukan membangun kesadaran kedalam. Usaha menyempurnakan agar tidak separuh dunia. Sebagai contoh orang Yunani, yang menemukan prinsip-prinsip segitiga dari orang Mesir, dimana diperoleh dari pengalaman-pengalaman orang mesir terhadap segitiga. Dari pengalaman-pengalaman tersebut di abtraksi oleh orang Yunani sehingga di dapatkan kebenaran tentang segitiga semisal oleh Phythagoras.

            Matematika pun tidak seharusnya hanya separuh dunia. Matematika murni merasa kebenaran matematika itu absolut tidak terbantahkan lagi.  Menaifkan apa yang ditemukan di Mesir, di Babolania, matematika anak kecil dan lain sebagainya. Matematika yang demikian merupakan separuh dunia, dimana Aristoteles hal tersebut belum mengabil unsur-unsur pengalaman-pengalaman.
            Kebenaran matematika tentunya harus dalam hal identitas ataupun konsisten pada definisi-definisinya.Tidak benar jika matematika kontradiksi dalam definisi-definisinya. Namun meski demikian, yang harus disadari adalah pada dasarnya matematika diperoleh dari kontradiksi. Kontradiksi dari pengalaman-pengalaman yang membangun matematika itu sendiri. Sehingga di dapatkan bahwa matematika merupakan ilmu sebagai sintesis-apryori.

Daftar Pertanyaan:
1.      Apakah kekuasaan dapat dikalahkan oleh filsafat? Serta bagaimana caranya?
2.      Apakah yang dianggap Tradisonal oleh Post moderen dapat menang? Bagaimana syarat-syaratnya?
3.      Apa sebenarnya hakekat ruamah yang terlalu besar?
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini